Seperti dituliskan pada artikel sebelumnya, bahwa masalah air bersih di Indonesia memang begitu memprihatinkan, dan sudah semestinya menjadi perhatian semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah. Karena apabila masalah air bersih ini tidak segera diatasi, krisis air bersih diperkirakan akan terjadi pada tahun 2030. Bahkan menurut Arjun Thapan, Penasehat Senior ADB (Bank Pembangunan Asia) untuk infrastruktur dan Air, peningkatan permintaan air pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai 70-90% di Asia, dimana kekurangan suplai air mencapai 40%.
Begitu peliknya masalah air bersih ini membuat para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan terjadi “perarungan” untuk memperebutkan air bersih, sama halnya dengan pertarungan untuk memperebutkan sumber energi dan gas bumi. World Water Assesment Programme (WWAP)pun menegaskan bahwa krisi air di dunia akan memberi dampak yang mengenaskan, tidak hanya membangkitkan epidemic penyakit yang merenggut nyawa, tapi juga akan mengakibatkan bencana kelaparan.
Perkiraan akan terjadinya krisis air bersih pada tahun 2030 seharusnya menyadarkan semua pihak, bahwa memang perilaku dan tangan manusia itu yang menyebabkan akan terjadinya krisis air bersih, baik dari sisi penggunaan air maupun kerusakan-kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perilaku dan tangan manusia.
Dari sisi penggunaan air, dapat dilihat bahwa banyak orang yang menganggap air itu merupakan benda sosial yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa memahami dengan baik prinsip perlindungan terhadap air. Seperti kurangnya kesadaran akan pentingnya menggunakan air secara bijak (menghambur-hamburkan air bersih), di DAS juga sumber air baku (sungai) sering difungsikan langsung untuk berbagai kegiatan sehari-hari (mandi, mencuci bahkan membuang kotoran/sampah), dimana hal ini dapat menimbulkan pencemaran sungai secara langsung.
Selain itu kerusakan-kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh tangan manusia juga membuat sumber air bersih menjadi berkurang. Seperti penggundulan hutan yang menyebabkan berkurangnya daya resap tanah terhadap air, sehingga timbulah kekeringan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan, hingga tahun 2000 saja di seluruh wilayah Indonesia diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah mencapai 7.956.661 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.139 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi (penanaman kembali) yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya krisis air bersih yaitu: pertambahan populasi dan persebaran penduduk yang tidak merata, dimana pemanfaatan sumber daya air bagi kebutuhan manusia semakin hari semakin meningkat. Di satu sisi kebutuhan akan sumber daya air semakin meningkat pesat dan di sisi lain kerusakan dan pencemaran sumber daya air semakin meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan penyebaran yang merata, sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Kemudian dapat kita lihat juga disini bahwa perilaku dan tangan manusialah menjadi faktor terjadinya krisis air bersih, dimana terjadinya pencemaran air yang sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia yaitu adanya limbah pemukiman, limbah pertanian, limbah industri termasuk pertambangan.
Tak bisa kita bayangkan bagaimana bumi ini nantinya ketika krisis air global benar-benar terjadi, dimana air bersih akan sangat sulit ditemui. Saat ini saja, sepertiga penduduk bumi masih mengkonsumsi air yang bisa membahayakan kesehatan. Di Indonesia sendiri masalah air bersih ini menjadi masalah yang pelik, data menyebutkan bahwa pada tahun 2011 dari sekitar 200 jutaan penduduk Indonesia, baru 20% saja yang memiliki akses terhadap air bersih. Sedangkan sekitar 80%nya masih mengkonsumsi air yang tak layak bagi kesehatan. Bencana kekeringan juga terjadi di berberapa wilayah di Indonesia, bahkan hampir setiap tahunnya kekeringan ini melanda.
Penyelamatan sumber-sumber air memang harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan demi mengatasi krisis air bersih ini, diantaranya adalah dengan menggalakan gerakan hemat air di semua sendi kehidupan, yang dapat dimulai dari hal paling kecil seperti pemanfaatan ulang air buangan untuk menyiram tanaman ataupun toilet, dan juga untuk sektor pertanian yang merupakan kegiatan ekonomi yang paling membutuhkan air. Upaya untuk mengatasi krisis air bersih bisa juga dengan menggalakan gerakan menanaman pohon; konservasi lahan, pelestarian hutan dan DAS; mengurangi pencemaran air, pembangunan tempat penampungan air hujan (seperti situ, embung, dan waduk); hingga pengembangan teknologi desalinasi untuk mengolah air asin (air laut) dan air payau menjadi air tawar, yang salah satunya bisa dengan menggunakan "teknologi membran Reverse Osmosis (RO) atau Osmosis Terbalik atau Osmosa Balik".
Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Teknologi Membran Reverse Osmosis (RO) atau Osmosis Terbalik atau Osmosa Balik silahkan anda baca artikel kami di blog ini, atau silahkan anda kunjungi "enerba teknologi"
sumber:
- slideshare
- alamendah
- duniaesai
- inilah.com
Begitu peliknya masalah air bersih ini membuat para ahli berpendapat bahwa pada suatu saat nanti, akan terjadi “perarungan” untuk memperebutkan air bersih, sama halnya dengan pertarungan untuk memperebutkan sumber energi dan gas bumi. World Water Assesment Programme (WWAP)pun menegaskan bahwa krisi air di dunia akan memberi dampak yang mengenaskan, tidak hanya membangkitkan epidemic penyakit yang merenggut nyawa, tapi juga akan mengakibatkan bencana kelaparan.
Perkiraan akan terjadinya krisis air bersih pada tahun 2030 seharusnya menyadarkan semua pihak, bahwa memang perilaku dan tangan manusia itu yang menyebabkan akan terjadinya krisis air bersih, baik dari sisi penggunaan air maupun kerusakan-kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh perilaku dan tangan manusia.
Dari sisi penggunaan air, dapat dilihat bahwa banyak orang yang menganggap air itu merupakan benda sosial yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa memahami dengan baik prinsip perlindungan terhadap air. Seperti kurangnya kesadaran akan pentingnya menggunakan air secara bijak (menghambur-hamburkan air bersih), di DAS juga sumber air baku (sungai) sering difungsikan langsung untuk berbagai kegiatan sehari-hari (mandi, mencuci bahkan membuang kotoran/sampah), dimana hal ini dapat menimbulkan pencemaran sungai secara langsung.
Selain itu kerusakan-kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh tangan manusia juga membuat sumber air bersih menjadi berkurang. Seperti penggundulan hutan yang menyebabkan berkurangnya daya resap tanah terhadap air, sehingga timbulah kekeringan. Berdasarkan data Departemen Kehutanan, hingga tahun 2000 saja di seluruh wilayah Indonesia diketahui luas lahan kritis yang mengalami kerusakan parah mencapai 7.956.661 hektare (ha) untuk kawasan hutan dan 14.591.139 ha lahan di luar kawasan hutan. Sedangkan pada tahun yang sama rehabilitasi (penanaman kembali) yang dilakukan pemerintah hanya mampu menjangkau 12.952 ha kawasan hutan dan 326.973 ha di luar kawasan hutan.
Faktor lain yang menyebabkan terjadinya krisis air bersih yaitu: pertambahan populasi dan persebaran penduduk yang tidak merata, dimana pemanfaatan sumber daya air bagi kebutuhan manusia semakin hari semakin meningkat. Di satu sisi kebutuhan akan sumber daya air semakin meningkat pesat dan di sisi lain kerusakan dan pencemaran sumber daya air semakin meningkat pula sebagai implikasi industrialisasi dan pertumbuhan populasi yang tidak disertai dengan penyebaran yang merata, sehingga menyebabkan masih tingginya jumlah orang yang belum terlayani fasilitas air bersih dan sanitasi dasar. Kemudian dapat kita lihat juga disini bahwa perilaku dan tangan manusialah menjadi faktor terjadinya krisis air bersih, dimana terjadinya pencemaran air yang sebagian besar disebabkan oleh aktifitas manusia yaitu adanya limbah pemukiman, limbah pertanian, limbah industri termasuk pertambangan.
Tak bisa kita bayangkan bagaimana bumi ini nantinya ketika krisis air global benar-benar terjadi, dimana air bersih akan sangat sulit ditemui. Saat ini saja, sepertiga penduduk bumi masih mengkonsumsi air yang bisa membahayakan kesehatan. Di Indonesia sendiri masalah air bersih ini menjadi masalah yang pelik, data menyebutkan bahwa pada tahun 2011 dari sekitar 200 jutaan penduduk Indonesia, baru 20% saja yang memiliki akses terhadap air bersih. Sedangkan sekitar 80%nya masih mengkonsumsi air yang tak layak bagi kesehatan. Bencana kekeringan juga terjadi di berberapa wilayah di Indonesia, bahkan hampir setiap tahunnya kekeringan ini melanda.
Penyelamatan sumber-sumber air memang harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan demi mengatasi krisis air bersih ini, diantaranya adalah dengan menggalakan gerakan hemat air di semua sendi kehidupan, yang dapat dimulai dari hal paling kecil seperti pemanfaatan ulang air buangan untuk menyiram tanaman ataupun toilet, dan juga untuk sektor pertanian yang merupakan kegiatan ekonomi yang paling membutuhkan air. Upaya untuk mengatasi krisis air bersih bisa juga dengan menggalakan gerakan menanaman pohon; konservasi lahan, pelestarian hutan dan DAS; mengurangi pencemaran air, pembangunan tempat penampungan air hujan (seperti situ, embung, dan waduk); hingga pengembangan teknologi desalinasi untuk mengolah air asin (air laut) dan air payau menjadi air tawar, yang salah satunya bisa dengan menggunakan "teknologi membran Reverse Osmosis (RO) atau Osmosis Terbalik atau Osmosa Balik".
Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang Teknologi Membran Reverse Osmosis (RO) atau Osmosis Terbalik atau Osmosa Balik silahkan anda baca artikel kami di blog ini, atau silahkan anda kunjungi "enerba teknologi"
sumber:
- slideshare
- alamendah
- duniaesai
- inilah.com